Jakarta | medialbhwartawan.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai meng-intip pelanggaran yang terjadi dalam alokasi penggunaan Dana Desa. Buktinya, lembaga anti rasuah ini sudah mengantungi sejumlah data-data dugaan penyalahgunaan anggaran yang diperuntukan bagi pembangunan infrastruktur di wilayah ini.
Hal itu diakui Ketua KPK, Firli Bahuri saat menghadiri rapat koordinasi pembentukan desa antikorupsi tahun anggaran 2023. Menurutnya, berdasarkan data yang dikantongi Firli, ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia medio 2012 hingga 2021.
“Karena itu KPK membentuk program Desa Antikorupsi. Kenapa? Karena kami percaya berawal dari desa kita bisa mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi,” kata Firli di Hotel JS Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Pembentukan program ini karena Firli tak lepas dari pelaksanaan dana desa yang belum berjalan optimal. Sebab, berdasarkan data terbaru yang dikantongi KPK, sebanyak 12,29 persen masyarakat desa masih terjebak dalam kemiskinan.
Masih tingginya angka kemiskinan tersebut, menurut Firli, karena buruknya pengetahuan dan tata kelola sistem desa yang memunculkan celah korupsi. Akibatnya, pembangunan menjadi terhambat dan masyarakat tidak mendapatkan manfaat dari keberadaan dana desa.
“Tujuan negara sulit terwujud kalau korupsi masih ada dan membuat Indonesia tidak bisa maju. Korupsi harus dijadikan musuh bersama yang harus kita lawan dan bersihkan,” ungkapnya.
Data soal dugaan pelanggaran dana desa juga pernah dibeberkan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata yang mengaku sudah menerima ribuan aduan soal dugaan korupsi dalam penggunaan dana desa.
Aduan-aduan itu, kata Marwata sudah diterima sejak program itu diluncurkan pemerintah.
“Awal-awal peluncuran Dana Desa banyak sekali laporan masyarakat ke KPK ada ribuan,” paparnya.
Namun, kata Marwata menjelaskan, KPK tidak bisa menindaklanjuti laporan tersebut. Lembaga antirasuah ini terhambat dengan Pasal 11 Undang-undang KPK yang membatasi ruang kerjanya hanya untuk menindak kasus korupsi oleh penyelenggara negara.
Sedangkan kepala desa atau pejabat setingkatnya, disebut Marwata, tidak dianggap sebagai penyelenggara negara. Marwata menyebutkan, pengusutan dugaan penyalahgunaan dana desa merupakan kewenangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Menurutnya, Kemendes sudah membentuk satuan tugas khusus untuk penanganan dana desa yang ketuanya adalah mantan Komisioner KPK. Kendati demikian, Marwata memastikan, KPK tetap bisa menangkap kepala desa.
Di sisi lain, Marwata prihatin dengan kasus pidana yang menjerat kepala desa karena ketidaktahuan soal pengelolaan dana desa. Hal itu diketahuinya saat berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lain.
“Banyak yang sebetulnya mereka tidak paham banyak aturan yang mengatur desa itu. Pendidikannya? banyak mungkin yang tidak lulus SD, baca undang-undang tidak pernah apalagi dengan peraturan yang berbelit-belit,” ucap Marwata.
“Ketika ada penyimpangan aparat hukum datang untuk menindak. Saya bilang, kita ikut bersalah lho, kalau kita menindak seseorang yang dia tidak paham apa salahnya. Ya kita didik dulu dong, kita ajari dulu bagaimana mengadministrasikan dengan baik dan bagaimana mengelola dana desa dengan baik kan seperti itu,” sambungnya.
Perihal banyak masyarakat yang takut melaporkan penyimpangan di desanya karena kepala desa biasanya tokoh masyarakat ikut disorot Marwata. Dia sempat berkoordinasi dengan Menteri Desa PDTT untuk selektif menentukan desa yang betul-betul mampu mengelola dana desa.
“Kalau tidak siap ya bentuk program yang dibiayai dana desa, pelaksananya orang-orang Pemerintah daerah itu. Apakah tidak ada penyimpangan? Ya belum tentu, tapi paling enggak dengan program itu jelas wujudnya, ini yang harus dipikirkan ke depan,” kata dia.
Jika ditemukan kasus korupsi dana desa, Marwata menyarankan untuk pengembalian kerugian yang ditimbulkan akibat penyelewengan dan penyimpangan.(Red)